South Jakarta – Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 dan Permenkumham Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik ternyata telah menimbulkan pertanyaan dan gejolak terutama bagi para musisi dan pencipta lagu.
Alih-alih membantu tata kelola industri musik Indonesia menjadi lebih baik dengan teknologi Sistem Informasi Musik dan Lagu (SILM), tapi justru berpotensi melanggengkan praktik pengambil alihan fungsi negara oleh korporasi yang ditunjuk tanpa proses yang transparan dan akuntabel.
“Ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 telah menyerahkan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi. Apalagi penunjukan dilakukan secara tertutup, tidak transparan dan terindikasi mengandung konflik kepentingan, tanpa melalui uji publik dan konsultasi dengan para pencipta dan para pemangku kepentingan yang lain. Sedangkan royalti yang digunakan merupakan hak-hak para musisi dan pencipta lagu.” Jelas Indra Lesmana, inisiator Aliansi Musisi Pencipta Lagu Indonesia (AMPLI).
Korporasi tersebut mematok potongan 20% dari hasil royalti musik yang sebelumnya telah dipotong 20% oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Belum selesai sampai di situ, korporasi yang bersangkutan juga menjalankan peran pelaksana harian dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti yang kebijakannya diputuskan tanpa melibatkan musisi dan pencipta lagu untuk persetujuan.
Sebagaimana tersirat dalam UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014, menyadari sepenuhnya bahwa masalah royalti sebagai amanah dari pencipta, haruslah diurus dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga non-komersial.
“Faktanya saat ini, SILM tersebut belum dibuat tetapi korporasi sudah melakukan penarikan royalti. Sampai saat ini potensi royalti musik yang tidak diklaim jumlahnya sangat besar dan ini akan diklaim menjadi milik LMKN untuk digunakan sebagai dana operasional.” ungkap Endah Widiastuti, musisi dan pencipta lagu.
AMPLI menilai bahwa segala sesuatu yang melibatkan atau menggunakan dana dari musisi dan pencipta lagu haruslah transparan dan terbuka agar kita semua tahu bagaimana tujuan serta bentuk pengembangan yang dilakukan. Jika semua diawali melalui proses yang tertutup dan tidak transparan, hal ini menimbulkan trust issue di tengah para musisi dan pencipta lagu.
MOMENTUM REVOLUSI INDUSTRI MUSIK INDONESIA
Sengkarut tata kelola royalti ini membuat musisi dan pencipta lagu yang tergabung dalam AMPLI ingin mengeluarkan pernyataan sikap untuk ikut memberikan pandangan dan pemikiran tentang bagaimana mewujudkan tata kelola industri musik yang sehat dan berkelanjutan.
Ini menunjukkan konsolidasi musisi lintas generasi, genre, dan industri punya dorongan besar untuk bersama-sama melakukan perubahan demi masa depan industri musik Indonesia. “Good governance dalam pengelolaan royalti adalah keniscayaan. Harus transparan dan akuntabel!” Ujar Cholil Mahmud, musisi dan pencipta lagu.
Kita bisa memulai revolusi industri musik Indonesia dari tata kelola royalti yang transparan dan akuntabel. Hal ini akan membuat musisi dan pencipta lagu sejahtera dengan haknya. Penikmat musik serta pelaku bisnis yang ikut serta di dalamnya juga paham bagaimana harus mengapresiasi sebuah karya musik dan memahami hak komersial mereka yang selama ini dianggap sebelah mata. Sejalan dengan tujuan teknologi yang diciptakan untuk mempermudah hajat hidup orang banyak.
“Suara kami ini jangan dianggap untuk memperkeruh suasana atau keadaan. Justru ini merupakan momentum bagi kita semua, serta pemerintah, untuk berbenah supaya lebih terbuka dan transparan. Sehingga dapat melahirkan kepercayaan dari para musisi, pencipta lagu, dan pengguna musik.” ujar Yovie Widianto.
Tagar #DimulaiDariRoyalti diharapkan mampu menjadi medium untuk mengawal pembenahan tata kelola royalti dan teman-teman musisi, pencipta lagu, serta masyarakat bisa turut berpartisipasi dalam revolusi industri musik Indonesia.
Kamu juga bisa berperan aktif menandatangani petisi di https://www.change.org/dimulaidariroyalti
Untuk itu AMPLI meminta pemerintah membatalkan PP56/2021 dan Permenkumham 20/2021 karena AMPLI menolak kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengambil alih peran negara dalam penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti. Mendorong pemerintah agar membangun PDLM dan SILM bersama Dirjen Kekayaan Intelektual. Serta mendorong transparansi dari LMKN untuk membangun kepercayaan publik selama membangun Pusat Data Lagu dan Musik (PDLM) dan SILM.
Pernyataan Sikap ALIANSI MUSISI PENCIPTA LAGU INDONESIA (AMPLI)
– Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UU Hak Cipta”), telah memberikan landasan hukum bagi pembentukan Lembaga Manajemen Kolektif (“LMK”) (yang berbentuk badan usaha nirlaba) dan juga Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (“LMKN”) (yang berbentuk lembaga bantu pemerintah) sebagai lembaga penarik, penghimpun, dan pendistribusian royalti.
Sebagaimana tersirat dalam UU Hak Cipta, pembentuk undang-undang telah menyadari sepenuhnya bahwa masalah royalti sebagai amanah dari pencipta, haruslah diurus dan ditangani secara transparan oleh lembaga-lembaga nonkomersial;
– Namun ternyata Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (“PP 56/2021”) serta Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan PP 56/2021 (“Permenkumham 20/2021”) sebagai aturan turunan dari UU Hak Cipta, telah memperkenankan pihak ketiga berbentuk perusahaan swasta (korporasi) untuk ikut mengambil alih fungsi penarikan, penghimpunan dan distribusi royalti, dengan dalih pembentukan Sistem Informasi Musik dan Lagu (“SILM”);
– Lebih jauh lagi, Permenkumham 20/2021 (sebagai aturan pelaksanaan dari PP 56/2021) ternyata memberikan kewenangan yang berlebih kepada sang korporasi, bukan hanya sebagai vendor untuk membangun SILM, tapi juga mengambil alih seluruh kewenangan dan fungsi LMKN, dengan atribut sebagai “pelaksana harian”, dan diberikan hak untuk memotong 20% (dua puluh persen) dari royalti yang ditarik dan dihimpun untuk kepentingan “dana operasional”. Sehingga, potongan yang semula hanya 20% (dua puluh persen) untuk dana operasional LMK (termasuk LMKN) bertambah 20% (dua puluh persen) lagi. Padahal, dalam UU Hak Cipta, potongan maksimal seharusnya hanya 20% (dua puluh persen). Kebijakan ini jelas bertentangan dengan UU Hak Cipta dan sangat merugikan para pencipta lagu;
– Terlebih lagi, saat perjanjian antara LMKN dengan korporasi tersebut ditandatangani pada tanggal 19 Mei 2021, salah satu komisioner LMKN ternyata juga memiliki saham pada korporasi yang ditunjuk sebagai pembangun SILM dan “pelaksana harian”, sehingga jelas sekali terjadi konflik kepentingan;
– Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi, sudah seharusnya menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam negara res publica yang berarti negara mengutamakan kepentingan orang banyak. Penyerahan kewenangan pelaksana harian LMKN kepada suatu korporasi tentunya telah bertentangan dengan prinsip res publica. Penyerahan kewenangan pelaksana harian kepada korporasi juga merupakan pengulangan sejarah zaman orde baru, dan bertentangan serta melawan semangat reformasi, di mana negara membuat regulasi yang menyerahkan kewenangannya untuk mengurus kepentingan publik kepada korporasi, yang kita tahu seperti kasus monopoli cengkeh & perdagangan jeruk di era Orde Baru, yang berakhir tragis dengan hancurnya harga cengkeh dan jeruk, dan malah menjadi melaratnya para petani komoditi tersebut. Apakah kita semua saat ini secara sadar ingin mengulang sejarah kelam tersebut?;
– Ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 telah menyerahkan kewenangan yang sangat besar kepada korporasi (apalagi penunjukan dilakukan secara tertutup, tidak transparan & terindikasi mengandung konflik kepentingan), tanpa melalui uji publik dan konsultasi dengan para pencipta dan para pemangku kepentingan yang lain. Tanpa adanya pengaturan dan distribusi royalti yang transparan, akuntabel, mengutamakan penyelarasan dengan hukum, tata kelola industri musik yang menjadi penopang keberlanjutan budaya Indonesia tidak dapat berkembang dengan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, bersama ini kami menyatakan hal-hal sebagai berikut:
1. AMPLI menolak ketentuan-ketentuan dalam PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 yang memberikan pihak swasta kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti, dan karenanya AMPLI meminta PP 56/2021 dan Permenkumham 20/2021 dibatalkan;
2. AMPLI menolak segala kebijakan pemerintah yang membuka pintu bagi pihak swasta untuk mengambil alih peran negara dalam melaksanakan kewenangan penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti yang merupakan kewenangan Negara, serta mendorong pemerintah Republik Indonesia untuk membangun Pusat Data Lagu dan Musik (“PDLM”) serta SILM bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual selaku regulator pengelolaan hak cipta;
3. AMPLI mendorong LMKN untuk memperbaiki kinerja dan transparansinya untuk kembali membangun kepercayaan publik selama pengembangan PDLM dan SILM.
Berdasarkan hal-hal tersebut, AMPLI mengajak seluruh pelaku industri musik untuk melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah serta perkembangan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan industri musik dan pengelolaan hak cipta demi tumbuhnya tata kelola industri musik yang sehat dan berkelanjutan.
BERIKUT DAFTAR NAMA YANG MENYATAKAN SIKAP BERSAMA AMPLI:
1. Indra Lesmana
2. Hanny Lesmana
3. Anto Hoed
4. Melly Goeslaw
5. Once Mekel
6. Eki Puradiredja
7. Yovie Widianto
8. Pay Burman
9. Thomas Ramdhan
10. Bimo Sulaksono
11. Cholil Mahmud
12. Tompi
13. Eross Chandra
14. Endah Widiastuti
15. Rhesa Adityarama
16. Eva Celia
17. Iga Massardi
18. Ipang Lazuardi
19. Mondo Gascaro
20. Riko Prayitno
21. Bagus Dhanar Dhana
22. Bondan Prakoso
23. Sandhy Sondoro
(SPR)